JEMBER – Di tengah maraknya kasus kekerasan seksual, pernikahan dini, dan stunting di Jember, sekelompok aktivis perempuan menyerukan perlawanan. Mereka meminta generasi muda berhenti sekadar menjadi penonton.
Ajakan itu datang dari Hanny Hilmia Fairuza, Ketua Kohati HMI Cabang Jember, saat mengisi forum Kohati Inspiratif bertajuk Kiprah Strategis Perempuan dan Generasi Muda dalam Menyongsong Pembangunan Daerah, Selasa, 15 Juli 2025.
“Saatnya kita berhenti hanya menyuarakan. Kita harus turun tangan langsung, mewujudkan perubahan,” kata Hanny lantang di hadapan peserta yang memadati Aula PB Sudirman.
Seruan Hanny bukan tanpa alasan. Data dari Pengadilan Agama Jember menunjukkan angka pernikahan dini di kabupaten ini terus meroket. Pada 2023, tercatat 627 permohonan dispensasi kawin anak, dan 580 dikabulkan.
“Di balik angka itu ada anak-anak yang kehilangan haknya. Mereka kehilangan kesempatan belajar, bermain, dan bermimpi,” ujar Hanny.
Ironisnya, tren ini belum menunjukkan tanda mereda. Hanya dalam dua bulan pertama 2024, 96 permohonan serupa kembali diajukan, mayoritas dari kawasan pedesaan.
Penyebabnya berlapis: kemiskinan, budaya patriarki yang membelenggu, dan pemahaman keagamaan yang sempit. Semuanya berkontribusi dalam memutus masa depan anak-anak perempuan.
Di sisi lain, angka kekerasan seksual juga terus bertambah. Data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Jember mencatat 220 kasus sepanjang 2023. Dari jumlah itu, 113 korbannya adalah anak-anak.
Lebih miris lagi, sebagian kekerasan terjadi di tempat-tempat yang dianggap aman. “Beberapa santriwati menjadi korban pelecehan oleh pengasuhnya sendiri,” kata Hanny, suaranya meninggi.
Hanny menyebut, pelaku kekerasan seksual kerap berasal dari lingkungan terdekat korban: guru, tetangga, bahkan anggota keluarga sendiri. “Kita harus berani mengakui fakta ini,” ujarnya.
Menjawab situasi itu, Kohati Jember meluncurkan program Pena Kohati. Ini adalah ruang pengaduan berbasis tulisan, kampanye media sosial, serta advokasi langsung bagi penyintas kekerasan seksual.
Program ini bukan sekadar ruang pengaduan. Kohati ingin menjadikannya wadah gagasan, tempat pemuda bisa mengekspresikan keresahan dan ikut mengawal isu perempuan secara aktif.
Forum itu juga menghadirkan Yonathan A., anggota DPRD Denpasar yang menjadi pemateri tamu. Ia menyoroti minimnya peran pemuda dalam pembangunan daerah.
Menurut Yonathan, sebenarnya pemerintah telah membuka banyak ruang. Ada Musrenbang, forum pemuda, hingga konsultasi publik. Masalahnya, banyak pemuda enggan terlibat.
“Pemerintah itu kalau diajak, pasti mau. Tapi ya jangan diam saja,” kata Yonathan. Ia menilai sebagian anak muda kini terjebak mentalitas instan.
“Maunya cepat kaya. Investasi kripto, Bitcoin, sekali klik langsung tajir. Padahal nggak bisa begitu,” kritik Yonathan, menyinggung fenomena baru di kalangan milenial.
Yonathan menekankan, ada tiga hal yang harus dipegang pemuda: idealisme, integritas, dan ketulusan. Tanpa itu, ia menyebut, semua capaian materi tidak akan berarti.
“Kalau pemuda sudah nggak punya idealisme, kalau semua dihitung dengan uang, ya itu bahaya. Kita bisa kehilangan arah,” tutupnya.