PPRA

PERATURAN DEWAN PERS
NOMOR: 1/PERATURAN-DP/II/2029
TENTANG
PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK

Menimbang :

Bahwa anak merupakan tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga perlu melindungi harkat dan martabat anak;

Bahwa peran serta wartawan Indonesia dalam melindungi harkat dan martabat anak adalah menjaga segala bentuk pemberitaan negatif tentang anak dengan tetap menjaga kemerdekaan pers dan mengembangkan pers yang profesional dan bertanggungjawab;

Bahwa perlu ditetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak bagi sebagai panduan bagi wartawan Indonesia dan organisasi pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik yang berkaitan dengan pemberitaan ramah anak;

Mengingat :

  1. Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  4. Pasal 19 dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
  5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 14/M Tahun 2016 tentang keanggotaan Dewan Pers periode tahun 2016-2019;
  6. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/PeraturanDP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers;

Memperhatikan :

  1. Nota Kesepahaman antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dengan Dewan Pers Nomor 4/set/KPP-PA/DV/02/2019 dan Nomor 02/DP/MoU/I1/2019 tanggal 9 Februari 2019.
  2. Hasil Focus Group Discussion pada tanggal 17 November 2018, 29 November 2018, 13 Desember 2018, Uji Publik pada tanggal 19 Desember 2018, rapat tim perumus pada tanggal 19 Januari 2019 dan Uji Publik kedua pada tanggal 23 Januari 2019 di Jakarta.
  3. Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers pada hari Kamis tanggal 7 Februari 2019 untuk mengesahkan draft Pedoman Pemberitaan Ramah Anak menjadi Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN DEWAN PERS TENTANG PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK

KESATU :
Mengesahkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Dewan Pers ini.

kedua :
Peraturan Dewan Pers ini berlaku pada ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2019

Dewan Pers,
Ttd
Yosep Adi Prasetyo
Ketua


LAMPIRAN: PERATURAN DEWAN PERS
NOMOR: 1/PERATURAN-DP/II/2019
TENTANG
PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, karena itu berhak mendapatkan perlindungan. Selain itu, anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif agar mereka dapat tumbuh dengan wajar, hidup dalam lingkungan yang kondusif, dapat berkembang normal secara jasmani maupun rohani, untuk dapat mencapai kedewasaan yang sehat, demi kepentingan terbaik bagi anak.

Mencermati pemberitaan yang terkait dengan anak di tanah air, seringkali anak justru menjadi korban, obyek eksploitasi dan diungkapkan identitasnya antara lain wajah, inisial, nama, alamat, dan sekolah secara sengaja ataupun tidak sengaja sehingga anak tidak terlindungi secara baik. Bahasa pemberitaan terkait anak terkadang menggunakan bahasa yang kasar dan vulgar. Media penyiaran juga kerap menampilkan sosok anak yang disamarkan menggunakan topeng atau diblur wajahnya namun masih bisa dikenali ciri-cirinya.

Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak dan membuat UndangUndang yang melindungi hak anak dalam hal ini Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia terkait perlindungan anak. Antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (16 th), Kode Etik Jurnalistik (16 th), Undang-Undang Perlindungan Anak (18 th) dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (18 th) dengan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (21 th), dan UU Administrasi Kependudukan (17th).

Oleh Karena itu komunitas pers Indonesia yang terdiri dari wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers bersepakat, membuat suatu Pedoman Penulisan Ramah Anak yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Wartawan Indonesia menyadari pemberitaan tentang anak harus dikelola secara bijaksana dan tidak eksploitatif, tentang suatu peristiwa yang perlu diketahui publik.

Pemberitaan Ramah Anak ini dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak, baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.

Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, baik masih hidup maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.

Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek dan tidak menyebut keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan/klub yang diikuti, dan benda benda khusus yang mencirikan sang anak.

Adapun rincian Pedoman Pemberitaan Ramah Anak adalah sebagai berikut:

  1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
  2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
  3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
  4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
  5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
  6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
  7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
  8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah /keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
  9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
  10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
  11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) hanya dari media sosial.
  12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku.

Jakarta, 9 Februari 2019