Jember, Jurnalbangsa.com — Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Jember melayangkan kritik keras terhadap Wakil Bupati Djoko Susanto yang tercatat 11 kali tidak menghadiri rapat paripurna dari total 13 kali yang digelar sepanjang tahun ini.
Kritik itu disampaikan dalam forum resmi DPRD saat rapat paripurna pandangan akhir terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025.
Juru Bicara Fraksi PKB, Nurhuda Candra Hidayat, menyebut ketidakhadiran Djoko Susanto sebagai bentuk sikap yang tidak menghormati lembaga DPRD dan merugikan proses kebijakan publik.
“Terkesan menyepelekan pembahasan hajat hidup rakyat Jember. Kehadiran Wakil Bupati bukan sekadar formalitas, melainkan kewajiban konstitusional yang mencerminkan komitmen terhadap tata kelola pemerintahan yang akuntabel,” katanya.
Dia menilai ketidakhadiran yang berulang itu mengganggu optimalisasi pembahasan kebijakan strategis antara legislatif dan eksekutif.
“DPRD bukan sekadar stempel, melainkan mitra kerja yang harus dihormati. Jika Wakil Bupati konsisten absen, maka muncul pertanyaan: sejauh mana keseriusannya dalam menjalankan tugas?” tegasnya.
Di akhir pandangannya, Fraksi PKB juga mengajak Wabup untuk menyudahi konflik dan lebih fokus pada kerja birokrasi.
“Kepada Wakil Bupati, kami mengimbau untuk mengakhiri dinamika yang kurang produktif. Mari tunjukkan kedewasaan dalam birokrasi dengan mengubah narasi menjadi kerja nyata,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Jember Muhammad Fawait enggan menanggapi secara langsung isu absennya Djoko Susanto.
Dia mengatakan tidak dalam posisi memberikan komentar.
“Karena ini tuan rumahnya DPRD, tidak bisa berkomentar karena saya juga tamu di sini. Biar Ketua DPRD saja sebagai tuan rumah,” ucapnya singkat.
Ketua DPRD Jember Ahmad Halim turut menanggapi.
Dia menjelaskan bahwa secara administratif, DPRD mengundang Bupati sebagai pihak yang wajib hadir dalam paripurna.
“Kebiasaan di kami, diundang semuanya: Bupati dan Wakil Bupati. Tapi menurut beliau (Wakil Bupati), secara administrasi hanya Bupati yang diundang. Kalau Bupati tidak hadir, baru menugaskan Wakil Bupati. Kalau Wakil Bupati tidak bisa hadir, baru menugaskan Sekda,” terang Halim.
Dia menyarankan agar Wabup menyampaikan konfirmasi kehadiran secara tertulis untuk menghindari kesimpangsiuran.
“Minimal kirim surat lah Pak Wabup itu biar terkonfirmasi jelas, karena saksinya banyak,” tambahnya.
Menanggapi kritik yang dilayangkan kepadanya, Wabup Djoko Susanto membantah bahwa dirinya mangkir.
Dia menyebut tidak menerima undangan resmi dari DPRD.
“Berdasarkan penjelasan dari ajudan, tidak ada undangan dimaksud. Kan gitu. Kalau tidak ada undangan, bagaimana saya bisa menghadiri?” ujar Djoko.
Dia juga menekankan bahwa komunikasi antar-lembaga formal seperti DPRD dan Pemerintah Daerah harus melalui jalur resmi.
“Urusan pemerintahan itu ya urusan surat menyuratan. Kan begitu. Ya, kan?” katanya.
Menanggapi penjelasan Ketua DPRD soal kebiasaannya tidak hadir karena merasa undangan hanya ditujukan kepada Bupati, Djoko mengatakan konteksnya berbeda.
“Konteksnya itu adalah, acara paripurna tidak segera dimulai. Masih menunggu-nunggu, yang tidak sesuai jadwal,” jelasnya.
Menurut Djoko, posisi Bupati dan Wakil Bupati merupakan satu kesatuan dalam lembaga kepala daerah.
“Kalau bupati dan wakil bupati itu kan satu lembaga. Kalau penyebutannya itu kepala daerah, ya cukup kepala daerah. Kan begitu. Kalau penyebutannya bupati, ya mesti dengan wakil bupati dong,” tandasnya.