JEMBER – Ribuan warga memenuhi Alun-Alun Jember, Sabtu malam (31/10), dalam gelaran Sholawat dan Dzikir Akbar memperingati Hari Santri 2025. Cahaya ponsel berpendar, suasana haru menyelimuti.
Di tengah lantunan sholawat, Rektor UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember, Prof. Dr. H. Hepni, S.Ag., M.M., CPEM., menyampaikan mauidzah hasanah yang menyejukkan sekaligus menggugah kesadaran.
Dengan gaya khas pesantren, Prof. Hepni membuka tausiyahnya penuh kehangatan. Ia menyapa para habaib, masyaikh, dan hadirin, bahkan bersenda gurau dengan Bupati Jember, Gus Fawaid, yang disambut tawa jamaah.
Namun di balik suasana hangat itu, pesan yang disampaikan sarat makna. Prof. Hepni mengingatkan kembali lima asas utama pesantren: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah, dan kebebasan berpikir.
“Dulu santri mondok bukan untuk jabatan, tapi untuk menghilangkan kebodohan,” tuturnya tegas. “Keikhlasan adalah ruh peradaban Islam yang kini mulai pudar.”
Ia menyinggung masa kejayaan Islam di era Harun Ar-Rasyid, ketika keikhlasan dan akhlak mulia menjadi pondasi kebangkitan ilmu dan budaya. Pesantren, katanya, mewarisi semangat itu.
“Kesederhanaan menutup jurang sosial. Kemandirian menumbuhkan daya juang. Ukhuwah meneguhkan persatuan. Dari persatuan lahir kekuatan,” seru Prof. Hepni disambut gema takbir jamaah.
Menurutnya, pesantren kini bukan sekadar lembaga tradisional. Ia telah menjadi miniatur peradaban Islam pusat ilmu, teknologi, kesenian, hingga pemberdayaan masyarakat.
“Banyak bangsa kini meneliti pesantren,” ujarnya. “Karena dari santrilah lahir gagasan besar yang menjawab tantangan zaman.”
Prof. Hepni juga menegaskan pentingnya trilogi ukhuwah warisan KH. Ahmad Siddiq: ukhuwah islamiyah, wathaniyah, dan basyariyah. “Trilogi ini mendunia. Dunia belajar dari Indonesia tentang kedamaian,” katanya.
Menutup tausiyah, ia menegaskan pesantren sebagai ruang kebebasan berpikir yang tetap berakar pada ketawaduan. “Jangan ajari pesantren tentang demokrasi,” ujarnya.
“Pesantren sejak awal mengajarkan berpikir bebas tapi santun, kritis tapi rendah hati. Islam berdiri di atas semangat memberi, bukan meminta,” lanjutnya.
Malam pun kian larut, gema dzikir menjelma doa yang menembus langit Jember. Di antara lautan jamaah, pesan Prof. Hepni tentang lima jiwa pesantren terasa mengakar menjadi napas peradaban yang tak lekang zaman.












