Warga Jember Keluhkan Sulitnya Transaksi QRIS di Mall dan Pasar Tradisional

Pelayanan QRIS di pasar tradisional kurang maksimal di Jember. (Foto: Teamwork)
Pelayanan QRIS di pasar tradisional kurang maksimal di Jember. (Foto: Teamwork)

Jember, Jurnalbangsa.com – Di tengah gencarnya upaya pemerintah mendorong masyarakat beralih ke transaksi non-tunai, warga Jember justru mengeluhkan sulitnya menggunakan sistem pembayaran QRIS.

Dari mall besar hingga pasar tradisional, hambatan penerapan teknologi ini menjadi penghalang bagi kenyamanan bertransaksi.

Kondisi ini menuai kekecewaan dari banyak warga yang berharap sistem cashless dapat berjalan maksimal, sesuai visi digitalisasi ekonomi yang digaungkan.

Anita, seorang warga Perumahan Taman Gading, membagikan pengalamannya saat berbelanja di salah satu mall besar di Jember.

Ia terpaksa meninggalkan barang belanjaannya setelah kasir menolak pembayaran menggunakan QRIS.

“Kadung tidak bawa uang tunai, ternyata tidak bisa pakai QRIS. Akhirnya belanjaan saya tinggal,” ujarnya, Jumat (27/12/2024).

Anita menambahkan bahwa ia hanya membawa uang tunai Rp100 ribu dari rumah, dengan harapan sisanya dapat dibayar menggunakan QRIS. Namun, penolakan ini membuatnya kesal.

“Padahal sekarang zamannya cashless, tapi masih ada saja yang transaksi tunai,” katanya.

Pengalaman serupa juga dialami Sunaryo, warga Jalan Danau Toba, Sumbersari.

Ia merasa kebingungan ketika pembayaran QRIS yang ia coba lakukan di sebuah mall besar di Jalan Trunojoyo juga ditolak.

“Uang tunai yang saya bawa tidak cukup, akhirnya beberapa barang saya kembalikan,” ungkap Sunaryo.

Menurutnya, mall besar seharusnya menjadi contoh penerapan teknologi modern seperti QRIS.

“Sekarang cukup bawa HP saja, tapi kok malah ditolak. Ini kan aneh,” tuturnya.

Pasar Tanjung: Fasilitas Ada, Tapi Tak Maksimal

Kekecewaan juga dirasakan Riyati, warga Kaliwates, yang berbelanja di Pasar Tanjung.

Meskipun beberapa pedagang telah menyediakan barcode QRIS, proses transaksinya justru lebih rumit.

“Malah disuruh transfer. Prosesnya lebih lama, karena tidak maksimal,” katanya.

Menurut Riyati, penggunaan QRIS seharusnya menjadi solusi yang mempermudah masyarakat, bukan sebaliknya.

“Ada yang mudah, kenapa pilih yang sulit?” tanyanya.

Di sisi lain, para pedagang memiliki alasan tersendiri.

Hayati, seorang pedagang sembako di Pasar Tanjung, mengungkapkan keberatannya menggunakan QRIS karena harus menanggung pajak sebesar 12 persen.

“Kami butuh uang langsung, bukan harus menunggu 24 jam, belum masih dipotong pajak nantinya,” ungkap Hayati.

Hayati juga mengaku sistem QRIS yang diterapkan saat ini kurang fleksibel untuk pedagang kecil, yang sebagian besar membutuhkan uang tunai secara cepat untuk modal harian.

Digitalisasi Masih Setengah Hati

Kondisi ini menjadi ironi di tengah upaya pemerintah mendorong digitalisasi ekonomi.

Riyati mempertanyakan kesiapan infrastruktur pembayaran digital di Jember.

“Kalau mall dan pasar saja tidak siap, bagaimana masyarakat bisa sepenuhnya beralih ke cashless?” kritiknya.

Warga berharap pemerintah dan pihak pengelola pasar maupun mall dapat segera mengambil langkah untuk memperbaiki sistem ini.

Riyanti, konsumen lain yang kecewa, menekankan pentingnya kemajuan Jember dalam bidang digitalisasi.

“Jember juga harus maju, jangan tertinggal soal cashless,” tegasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak pengelola mall atau pengurus pasar terkait keluhan warga ini.

Masyarakat menantikan perbaikan nyata agar transaksi menggunakan QRIS dapat diterima luas dan memberikan kenyamanan bagi semua pihak.

Penulis: Zainul Hasan
Editor: Supriadi

Pos terkait