PASURUAN – Kabut tipis menyelimuti lereng Desa Jatiarjo, Prigen, saat suara burung bersahutan dari balik pepohonan. Di tengah suasana hening itu, sejarah baru lahir dari kaki bukit.
UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember resmi mencatat diri sebagai kampus pertama di Indonesia yang menggelar bootcamp ekoteologi model pembelajaran yang menggabungkan ilmu agama dan etika lingkungan secara praksis.
“Langkah ini luar biasa dan visioner,” ujar Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag., Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI, saat menyampaikan orasi bertajuk “Hilirisasi Ekoteologi: Menjembatani Nilai-Nilai Langit dengan Praktik Bumi Berkelanjutan.”
Menurutnya, inisiatif UIN KHAS Jember bukan sekadar eksperimen akademik, melainkan “model aksi nyata” yang mudah direplikasi kampus lain. “Sederhana, murah, tapi dampaknya besar,” ujarnya.
Prof. Arskal menjelaskan, hilirisasi ekoteologi adalah proses menerjemahkan nilai-nilai spiritual dari “hulu pemikiran” ke “hilir kehidupan”. Nilai ilahiah, katanya, harus mengalir hingga praktik sosial, ekonomi, dan kebijakan publik.
“Ekoteologi bicara hubungan manusia, alam, dan Tuhan. Agama tidak berhenti di mimbar, tapi menumbuhkan kesadaran ekologis,” jelasnya. “Ini bukan hanya soal menanam pohon, tapi melekatkan etika spiritual dalam pengelolaan sumber daya.”
Ia mencontohkan beberapa penerapan nyata: pesantren Athariq di Garut yang mengembangkan pertanian organik dan konservasi mata air, fatwa MPU Banda Aceh yang melarang buang sampah sembarangan, hingga pembiayaan hijau dari lembaga keuangan syariah.
“Semua itu bentuk hilirisasi. Nilai agama yang turun menjadi tindakan,” tegasnya.
Prof. Arskal juga mengapresiasi langkah UIN KHAS Jember yang menggandeng masyarakat Desa Jatiarjo dalam satu gerakan ekoteologi. “Ini bukan hanya kegiatan kampus, tapi pertemuan antara ilmu dan kehidupan,” katanya.
Dalam penutupannya, ia menyinggung pesan ekologis dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, tentang kekhawatiran malaikat terhadap potensi manusia merusak bumi. “Tugas kita memastikan kekhawatiran itu tak menjadi kenyataan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya sinergi lintas sektor akademisi, pemerintah desa, ulama, dan pelaku usaha demi membangun peradaban berkelanjutan berbasis nilai spiritual. “Hilirsasi ekoteologi adalah jembatan antara iman dan tindakan.”
Prof. Arskal menutup dengan pujian untuk UIN KHAS Jember. “Model ini patut ditiru. Tanpa biaya besar, tapi memberi teladan besar,” katanya disambut tepuk tangan hangat peserta.
Di bawah rimbun pepohonan Jatiarjo, semangat ekoteologi tak lagi sekadar teori. Ia menjelma gerakan nyata menurunkan nilai-nilai langit ke bumi yang lestari.










