UIN KHAS Jember Dorong Ekoteologi Jadi Jalan Baru Menyelamatkan Peradaban

SURABAYA – Krisis iklim bukan hanya soal cuaca ekstrem, tapi juga soal jiwa manusia yang kian gersang. Pesan itu menggema dalam International Conference on Islam Nusantara (ICNARA) 2025 yang digelar UIN Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember di Surabaya, 27–29 Oktober 2025.

Ajang tahunan ini menghadirkan para cendekiawan lintas negara untuk membahas peran Islam Nusantara dalam menjawab tantangan global, khususnya krisis ekologis yang kian mengkhawatirkan.

Dalam sambutannya, Rektor UIN KHAS Jember Prof. Hepni menegaskan bahwa bumi tengah berada di titik genting. Ia mengutip laporan IPCC 2022 yang mencatat suhu global naik 1,1 derajat Celsius dibanding era praindustri.

“Banjir, kekeringan, dan punahnya spesies hanyalah gejala. Luka paling dalam justru bersifat spiritual,” ujar Prof. Hepni di hadapan peserta konferensi.

Menurutnya, manusia modern telah kehilangan pandangan sakral terhadap alam. Alam kini dipandang sebatas “modal alami” yang bisa dieksploitasi tanpa batas, sebagaimana dikritik filsuf Islam Seyyed Hossein Nasr.

Prof. Hepni menilai paradigma pembangunan dunia masih berkutat pada logika lama. “Green economy dan sustainable development tetap berbasis kapitalistik. Bicara hijau, tapi sistemnya tetap serakah,” ujarnya.

Ia juga mengutip pemikiran Richard Smith dan John Foster, yang menilai teknologi hijau tak akan mampu mengobati akar krisis ekologis: keserakahan manusia dan sistem ekonomi yang tak bermoral.

Sebagai jalan keluar, Prof. Hepni mengusung gagasan ekoteologi—pandangan teologis yang menempatkan bumi sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang memiliki nilai spiritual.

“Ekoteologi mengajak kita menata ulang relasi manusia, Tuhan, dan alam. Alam bukan objek, tapi bagian dari diri kita,” jelasnya.

Ia menyebut sejumlah tokoh dunia seperti Leonardo Boff, Sally McFague, dan Thomas Berry yang menekankan pentingnya relasi baru antara manusia dan bumi.

Dalam Islam, lanjutnya, konsep khalifah dan amanah menegaskan manusia bukan pemilik bumi, melainkan penjaganya. “Tauhid mengajarkan kesatuan spiritual antara manusia dan alam,” ujarnya menegaskan.

Prof. Hepni juga menyoroti pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang dinilai masih terjebak dalam mekanisme pasar. Ia mengutip Naomi Klein yang menyebut penyelamatan bumi hanya bisa terjadi jika sistem ekonomi diubah secara mendasar.

“Tak ada keadilan ekologis tanpa keadilan sosial. Dan tak ada keberlanjutan sejati tanpa perubahan moral,” katanya.

Lebih dari sekadar kritik terhadap kapitalisme, ekoteologi menurutnya adalah tawaran spiritual baru untuk arah peradaban manusia. “Kita perlu bertobat dari keserakahan menuju kesederhanaan, dari dominasi menuju empati,” ajaknya.

ICNARA 2025 menghadirkan narasumber dari berbagai negara, termasuk Belanda dan sejumlah kampus di Indonesia. Konferensi ini diharapkan menjadi langkah awal menuju kesadaran ekologis global berbasis spiritualitas Nusantara.

“Menyelamatkan bumi berarti menyelamatkan kemanusiaan,” tutup Prof. Hepni. “Krisis ekologis adalah panggilan spiritual bagi kita semua.”

Dengan semangat Islam Nusantara yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta, UIN KHAS Jember berkomitmen menjadikan ICNARA 2025 sebagai tonggak lahirnya gerakan ekoteologi menuju peradaban hijau dan berkeadilan.

Penulis: Abdus syakur
Editor: Supriadi

Pos terkait