Pak Hos Nyaruki dan Warisan Arang Kayu dari Mumbulsari Jember

Pak Hos Nyaruki menyiapkan arang untuk pelanggannya. (Foto: Teamwork)
Pak Hos Nyaruki menyiapkan arang untuk pelanggannya. (Foto: Teamwork)

Jember, JurnalBangsa.com – Di tengah geliat modernisasi yang menembus hingga ke desa-desa pelosok, masih ada sosok-sosok yang konsisten menjaga denyut tradisi lokal.

Salah satunya adalah Pak Hos Nyaruki, atau yang akrab disapa Pak Hos, warga Dusun Curahlaos, Desa Lampeji, Kecamatan Mumbulsari, Kabupaten Jember.

Lelaki paruh baya ini telah mendedikasikan hidupnya lebih dari separuh abad untuk profesi tradisional: membuat arang kayu.

Pekerjaan itu kini kian langka, tergerus zaman, namun tidak bagi Pak Hos.

Dengan ketekunan dan kesetiaan terhadap warisan leluhur, ia tetap menjaga bara arang menyala di halaman rumah sederhananya, bahkan saat banyak orang sudah beralih pada gas elpiji atau kompor listrik.

“Setiap hari pasti membuat arang. Kalau belum ada yang memesan, arang itu saya jajakan,” ujar Pak Hos saat ditemui di sela kesibukannya menata karung-karung arang siap jual.

Bertahan di Tengah Perubahan

Pak Hos memulai usahanya sejak masih muda.

Kala itu, semua proses dilakukan secara manual, termasuk pengantaran arang yang ia lakukan dengan sepeda ontel.

Pelanggannya pun masih terbatas pada wilayah sekitar dan semua transaksi dilakukan secara langsung, dari rumah ke rumah.

Namun seiring waktu berjalan, terutama sejak tahun 2010, ia mulai beradaptasi.

Sepeda ontel diganti dengan sepeda motor, dan komunikasi dengan pelanggan mulai dilakukan lewat telepon seluler.

“Dulu semua diantar naik sepeda ontel, capek memang, tapi dinikmati. Sekarang sudah pakai motor, lebih cepat,” kisahnya.

Adaptasi itu tidak mengubah prinsip dasar usaha Pak Hos: menjaga kualitas arang dan menjalin hubungan baik dengan pelanggan.

Ia tetap membeli kayu dari tetangganya, membakarnya dengan cara tradisional, lalu menjualnya dalam bentuk arang dalam karung-karung.

Harga jualnya bervariasi, tergantung jenis kayu yang digunakan.

Rata-rata antara Rp50 ribu hingga Rp70 ribu per karung.

Permintaan pun fluktuatif.

Dalam sehari, ia bisa memproduksi lima karung saat permintaan sepi, tapi bisa melonjak lebih dari itu ketika pesanan berdatangan dari berbagai penjuru.

Dari Usaha Individu Menjadi Usaha Keluarga

Kini, di usia yang tak lagi muda, Pak Hos mulai membagi peran dengan anggota keluarganya.

Anak perempuannya, Sumiati, turut membantu bersama menantu dan cucu-cucunya.

Kegiatan membuat arang itu kini menjadi usaha keluarga, sekaligus media transfer keahlian tradisional agar tidak punah.

Tak hanya menjamin keberlangsungan usaha, keterlibatan keluarga juga menjadi cara Pak Hos menjaga nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan dalam pekerjaan.

Di tengah suasana halaman rumah yang dipenuhi karung-karung arang dan asap pembakaran, canda tawa dan kerja sama keluarga tetap terjaga.

Arang Kayu, Kearifan Lokal yang Tetap Diminati

Meski dunia memasak modern telah berkembang pesat, arang kayu tetap memiliki tempat istimewa.

Banyak pelaku usaha kuliner, terutama penjual sate, masih mengandalkan arang untuk mendapatkan cita rasa autentik.

Karena itu, pelanggan Pak Hos pun datang dari berbagai wilayah, mulai dari Jenggawah, Ajung, Ambulu, hingga pelosok lain di sekitar Kecamatan Mumbulsari.

Sebagian besar pelanggan telah menjadi langganan lama, yang tetap setia karena kualitas arang kayu buatan Pak Hos yang dianggap lebih awet dan panasnya stabil.

Menjaga Api Peradaban Lokal

Apa yang dilakukan Pak Hos bukan semata upaya mencari nafkah, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap hilangnya kearifan lokal.

Dengan tetap membuat arang kayu secara tradisional, ia menunjukkan bahwa modernisasi tak harus menghapus tradisi.

Pak Hos adalah penjaga api (secara harfiah dan filosofis).

Api yang membakar kayu menjadi arang di pekarangannya adalah simbol dari api semangat menjaga budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

Di tengah asap arang yang mengepul, tersimpan cerita ketekunan, dedikasi, dan cinta pada tanah kelahiran.

Pak Hos adalah saksi sekaligus pelaku bahwa arang bukan hanya bara hitam, melainkan bara hidup yang terus menyala di tengah arus zaman.

Penulis: Zainul Hasan
Editor: Supriadi